Ramadhan
Bulan Penuh Berkah
Definisi
Ramadhan
Ramadan (bahasa Arab:رمضان;
transliterasi: Ramadhan) adalah bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah
(sistem penanggalan agama Islam). Sepanjang bulan ini pemeluk agama Islam
melakukan serangkaian aktivitas keagamaan termasuk di dalamnya berpuasa, salat
tarawih, peringatan turunnya Alquran, mencari malam Laylatul Qadar,
memperbanyak membaca Alquran dan kemudian mengakhirinya dengan membayar zakat
fitrah dan rangkaian perayaan Idul Fitri. Kekhususan bulan Ramadan ini bagi
pemeluk agama Islam tergambar pada Alquran pada surat Al Baqarah ayat 185 yang
artinya:
"bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..."
"bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..."
Ramadan berasal dari
akar kata ر م ﺿ
, yang berarti panas yang menyengat atau kekeringan, khususnya pada tanah.
Bangsa Babylonia yang budayanya pernah sangat dominan di utara Jazirah Arab
menggunakan luni-solar calendar (penghitungan tahun berdasarkan bulan dan
matahari sekaligus). Bulan ke sembilan selalu jatuh pada musim panas yang
sangat menyengat. Sejak pagi hingga petang batu-batu gunung dan pasir gurun
terpanggang oleh segatan matahari musim panas yang waktu siangnya lebih panjang
daripada waktu malamnya. Di malam hari panas di bebatuan dan pasir sedikir
reda, tapi sebelum dingin betul sudah berjumpa dengan pagi hari. Demikian
terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi akumulasi panas
yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan Ramadan, bulan dengan panas
yang menghanguskan.
Setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari, bulan Ramadan tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami 'panas'nya Ramadan secara metaphoric (kiasan). Karena di hari-hari Ramadan orang berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. Atau, diharapkan dengan ibadah-ibadah Ramadan maka dosa-dosa terdahulu menjadi hangus terbakar dan seusai Ramadan orang yang berpuasa tak lagi berdosa. Wallahu `alam.
Dari akar kata tersebut kata Ramadan digunakan untuk mengindikasikan adanya sensasi panas saat seseorang kehausan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Ramadan digunakan karena pada bulan itu dosa-dosa dihapuskan oleh perbuatan baik sebagaimana matahari membakar tanah. Namun kata ramadan tidak dapat disamakan artinya dengan ramadan. Ramadan dalam bahasa arab artinya orang yang sakit mata mau buta. Lebih lanjut lagi hal itu dikiaskan dengan dimanfaatkannya momen Ramadan oleh para penganut Islam yang serius untuk mencairkan, menata ulang dan memperbaharui kekuatan fisik, spiritual dan tingkah lakunya, sebagaimana panas merepresentasikan sesuatu yang dapat mencairkan materi.
Setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari, bulan Ramadan tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami 'panas'nya Ramadan secara metaphoric (kiasan). Karena di hari-hari Ramadan orang berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. Atau, diharapkan dengan ibadah-ibadah Ramadan maka dosa-dosa terdahulu menjadi hangus terbakar dan seusai Ramadan orang yang berpuasa tak lagi berdosa. Wallahu `alam.
Dari akar kata tersebut kata Ramadan digunakan untuk mengindikasikan adanya sensasi panas saat seseorang kehausan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Ramadan digunakan karena pada bulan itu dosa-dosa dihapuskan oleh perbuatan baik sebagaimana matahari membakar tanah. Namun kata ramadan tidak dapat disamakan artinya dengan ramadan. Ramadan dalam bahasa arab artinya orang yang sakit mata mau buta. Lebih lanjut lagi hal itu dikiaskan dengan dimanfaatkannya momen Ramadan oleh para penganut Islam yang serius untuk mencairkan, menata ulang dan memperbaharui kekuatan fisik, spiritual dan tingkah lakunya, sebagaimana panas merepresentasikan sesuatu yang dapat mencairkan materi.
Penentuan
awal Ramadan
JAKARTA: Kementerian Agama akan melaksanakan sidang Isbat nanti malam (19/7/2012) untuk menentukan 1 Ramadhan 1433 H.
Sejumlah organisasi Islam, kecuali Muhammadiyah, akan mengikuti sidang tersebut, diantaranya Nahdlatul Ulama, PP Persatuan Islam (Persis), Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera, dan jamaah lainnya.
Diprediksikan, pemerintah akan mengacu pada penampakkan hilal yang nanti malam diprediksi masih kurang dari 2 derajat sehingga puasa akan dimulai pada 21 Juli lusa.
Penetapan 1 Ramadhan di Indonesia selalu mengundang polemik karena sejumlah organisasi menggunakan metode yang berbeda. Tahun ini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menduga akan ada perbedaan.
Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengungkapkan setelah mengamati posisi bulan menyimpulkan jika nantinya akan ada potensi perbedaan dalam penetapan 1 Ramadhan.
Dari perjalanan bulan, diketahui bahwa pada maghrib akhir Sya’ban atau 19 Juli 2012 nanti bulan telah wujud atau tampak di Indonesia. Akan tetapi ketinggiannya kurang dari imkan rukyat. Ketentuan Imkan rukyat menggunakan kriteria yang disepakati ketinggian bulan minimal 2 derajat.
Nah, karena pada 19 Juli 2012 bulan sudah wujud tetapi kurang dari 2 derajat, maka pengguna hisab wujudul hilal akan menetapkan awal Ramadhan jatuh pada 20 juli. Pengguna hisab wujudul hilal ini di antaranya adalah Muham*madiyah.
Sedangkan ormas yang menggunakan hisab imkan rukyat akan menetapkan 1 Ramadhan pada 21 Juli. Sementara itu, posisi hilal yang rendah tadi (antara 0-2 derajat) tidak mungkin akan berhasil di-rukyat pada 19 Juli.
Maka pengguna rukyat kemungkinan besar menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada 21 Juli. Pengguna rukyat ini di antaranya adalah pemerintah dan NU (Nahdlatul Ulama).
Pemerintah melalui Kemenag akan menjalankan pengamatan bulan atau rukyatul hilal pada 19 Juli 2012 nanti.
Thomas menyimpulkan Muhammadiyah berpotensi mengawali berpuasa ketim*bang ketetapan pemerintah yaitu pada 20 Juli 2012. Sementara pemerintah dan biasanya diikuti ormas-ormas lain terutama NU, akan menjalankan ibadah puasa mulai 21 Juli 2012.(api)
Hikmah
puasa
Ibadah puasa Ramadhan
yang diwajibkan Allah kepada setiap mukmin adalah ibadah yang ditujukan untuk
menghamba kepada Allah seperti yang tertera dalam QS. Al- Baqarah/2: 183.
Hikmah dari ibadah shaum itu sendiri adalah melatih manusia untuk sabar dalam
menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah ‘gigih
dan ulet’ seperti yang dimaksud dalam QS. Ali ‘Imran/3: 146. Di antara hikmah
dan faedah puasa selain untuk menjadi orang yang bertakwa adalah sebagai
berikut;
Untuk pendidikan/latihan rohani
Untuk pendidikan/latihan rohani
Mendidik jiwa agar dapat menguasai diri
Mendidik nafsu agar tidak senantiasa dimanjakan dan dituruti
Mendidik jiwa untuk dapat memegang amanat dengan sebaik-baiknya
Mendidik kesabaran dan ketabahan
Untuk perbaikan pergaulan
Orang yang berpuasa akan merasakan segala kesusahan fakir miskin yang banyak menderita kelaparan dan kekurangan. Dengan demikian akan timbul rasa suka menolong kepada orang-orang yang menderita.
Untuk kesehatan
Perlu diingat ibadah puasa Ramadhan akan membawa faaedah bagi kesehatan rohani dan jasmani kita bila ditunaikan mengikut panduan yang telah ditetapkan, jika tidak maka hasilnya tidaklah seberapa malah mungkin ibadah puasa kita sia-sia saja.
Allah berfirman dalam surat [Al-A'Raaf] ayat 31:
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan"
Nabi S.A.W.juga bersabda:
"Kita ini adalah kaum yang makan bila lapar, dan makan tidak kenyang."
Tubuh kita memerlukan makanan yang bergizi mengikut keperluan tubuh kita. Jika kita makan berlebih-lebihan sudah tentu ia akan membawa muzarat kepada kesehatan kita. Boleh menyebabkan badan menjadi gemuk, dengan mengakibatkan kepada sakit jantung, darah tinggi, penyakit kencing manis, dan berbagai penyakit lainnya. Oleh itu makanlah secara sederhana, terutama sekali ketika berbuka, mudah-mudahan Puasa dibulan Ramadhan akan membawa kesehatan bagi rohani dan jasmani kita. Insy Allah kita akan bertemu kembali.
Sebagai rasa syukur atas segala nikmat Allah
Syarat-syarat puasa
Syarat wajib puasa yaitu
Beragama Islam
Berakal sehat
Baligh (sudah cukup umur)
Mampu melaksanakannya
Syarat sah puasa yaitu
Islam (tidak murtad)
Mummayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk)
Suci dari haid dan nifas (khusus bagi wanita)
Mengetahui waktu diterimanya puasa
Rukun puasa
Islam
Niat
Meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari
Bacaan
doa waktu Sahur dan buka puasa
Niat Puasa Ramadhan
yang dibaca setiap malam :
Do’a Sahur Puasa Ramadhan
Dibaca : Nawaitu shauma gadhin ‘an ada-i fardhi sayahri ramadhani hadzihis-sanati lillahi ta’ala.
Artinya : Aku berniat puasa esok hari untuk melaksanakan kewajiban bulan ramadhan tahun ini kerana Allah Taala.
Do’a Berbuka Puasa Ramadhan :
doa buka puasa
Dibaca : Allahuma laka shumtu wabika amantu wa ‘ala rizqika aftartu birahmatika ya arhama rohimin.
Artinya : Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka, Maha besar Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang.
Do’a Sahur Puasa Ramadhan
Dibaca : Nawaitu shauma gadhin ‘an ada-i fardhi sayahri ramadhani hadzihis-sanati lillahi ta’ala.
Artinya : Aku berniat puasa esok hari untuk melaksanakan kewajiban bulan ramadhan tahun ini kerana Allah Taala.
Do’a Berbuka Puasa Ramadhan :
doa buka puasa
Dibaca : Allahuma laka shumtu wabika amantu wa ‘ala rizqika aftartu birahmatika ya arhama rohimin.
Artinya : Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka, Maha besar Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang.
Salat
tarawih
Pada malam harinya,
tepatnya setelah salat isya, para agama Islam melanjutkan ibadahnya dengan
melaksanakan salat tarawih. Salat khusus yang hanya dilakukan pada bulan
Ramadan. Salat tarawih, walaupun dapat dilaksanakan dengan sendiri-sendiri,
umumnya dilakukan secara berjama'ah di masjid-masjid. Terkadang sebelum
pelaksanaan salat tarawih pada tepat-tempat tertentu, diadakan ceramah singkat
untuk membekali para jama'ah dalam menunaikan ibadah pada bulan bersangkutan.
Menyambut
ramadhan dengan suka cita
Kemulyaan Ramadhan Bukan
Hanya Untuk Ustadz dan Kyai
Suatu
malam menjelang Ramadhan dari tempat rumah keduanya (pemancingan), kawanku
mendengar seorang penceramah lewat pengeras suara sedang membahas tentang
keutamaan menyambut bulan suci Ramadhan. Kawanku (fissher) di tengah aktifitas
hobbynya (memancing) rupanya sempat menangkap salah satu hadits tentang
keutamaan menyambut bulan Ramadhan yang dibacakan sang ustadz.
Besoknya,
dia berorasi kecil di tengah-tengah rekan-rekan kerjanya (termasuk aku) sambil
berkata: “Wah…hadits itu khusus ditujukan buat para kyai dan ustadz yang setiap
Ramadhan selalu mendapat “proyek” imam taraweh, kultum, dan ceramah di bulan
Ramadhan. Wajar saja kalau setiap datang Ramadhan selalu menyambutnya dengan
senang (gembira)!”
Ternyata,
hadits yang dimaksud oleh kawanku adalah hadits yang berbunyi:
“Barang
siapa yang merasa gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah
mengharamkan jasadnya disentuh api neraka.” (Al-Hadits)
Tentu
sebagian rekan kerjanya merespon dengan senyum dan menganggap itu Cuma comment
yang tidak diyakini sebagai sebuah pemahaman yang sebenarnya terhadap sebuah
hadits. Rekan kerjanya pun hanya menganggap itu hanya sebagai ungkapan canda.
Kisah di atas menginformasikan kepada kita bahwa (jika benar) kawanku memiliki
pemahaman seperti yang diucapkannya, maka kedatangan Ramadhan bagi sebagian
kita memang seolah-olah tidak punya makna. Bahkan yang kita khawatirkan bagi
mereka justru jika kemudian mengganggap Ramadhan hanya sebagai bulan “pengekang
kebebasan” dan “pembatas aktifitas”.Jika ini yang terjadi, maka Ramadhan tidak
akan pernah disambut, apalagi dengan perasaan suka cita.
Yang
pasti, hadits di atas bukan hadits untuk ustadz atau kyai saja, tapi universal
untuk seluruh kaum muslimin. Karena kita patut bersyukur, di bulan Ramadhan
segala kesempatan beramal semakin terbuka kepada siapa saja yang mau menangkap
peluang pahala. Jika pada satu kesempatan, didapati seseorang yang tampak
bertambah baik “kepulan asap dapurnya” di saat bulan Ramadhan, itu hanya
sebagian dari pengaruh berkah Ramadhan. Sebab memang bulan Ramadhan adalah
bulan berkah, disamping sebagai bulan rahmat dan maghfiroh. MARHABAN
YA……RAMADHAN !
Nasihat Rasulullah Menyambut Bulan
Ramadhan
1.
Nasihat
Rasulullah Menyambut Bulan Ramadhan
2.
Bermohonlah
kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah
membimbingmu untuk melakukan syiyam dan membaca kitab-Nya.
3.
Celakalah
orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah
dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat.
Bersedekahlah kepada kaum fukara dan masakin .
4.
Muliakanlah
orang-orang tuamu, sayangilah yang muda, sambunglah tali persudaraanmu, jaga
lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya, dan
pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarkannya.
5.
Kasihanilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi
manusia anak-anak yatimmu. Bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosamu.
6.
Angkatlah
tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang
paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hambanya dengan penuh
kasih;Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika
mereka memanggil-Nya, dan mengabulkan mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.
7.
Wahai
manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah
dengan istighfar . Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa)-mu, maka
ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.
8.
Ketahuilah!
Allah Ta'ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan
mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka
dengan neraka pada hari manusia berdiri dihadapan Rabb Al-'Alamin.
9.
Wahai
manusia! Barangsiapa diantaramu memberi buka kepada orang-orang Mukmin yang
berpuasa di bulan ini, maka disisi Allah nilainya sama dengan membebaskan
seorang budak dan ia diberi ampunan atas dosa-dosanya yang lalu.
10.
(Sahabat-sahabat
bertanya:" Ya Rasulullah!Tidaklah kami semua mampu berbuat
demikian." Rasulullah meneruskan:) Jagalah dirimu dari api neraka
walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun
hanya dengan seteguk air.
11.
Wahai
manusia! Siapa yang membaguskan ahlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati
sirath pada hari ketika kaki-kaki tergelincir.
12.
Barang
siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya
(pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di
hari Kiamat. Barang siapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan
murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.
13.
Barangsiapa
memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia
berjumpa dengan-nya.
14.
Barangsiapa
menyambungkan tali persudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan
menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.
Barangsiapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan
rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.
15.
Barangsiapa
melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan , Allah akan
menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat
fardhu baginya adalah ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardhu dibulan yang
lain.
16.
Barang
siapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan
timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa pada bulan ini
membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Qur'an pada
bulan-bulan yang lain.
17.
Wahai
manusia! sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada
Tuhanmu agar tidak akan pernah menutupkannya bagimu.
18.
Pintu-pintu
neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan
bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah
menguasaimu.
19.
Amirul
Mukminin k.w. berkata,:Aku berdiri dan berkata,"Ya Rasulullah! Apa
amal yang paling utama dibulan ini?” Jawab Nabi:Ya abal Hasan! Amal yang paling
utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan
Allah". Di kutip dari:"Puasa Bersama Rasulullah",
karangan Ibnu Muhammad, Pustaka Al Bayan Mizan.
7
Kebiasaan Rasulullah Di Bulan Ramadhan
Sungguh Allah telah memberikan kepada
kita nikmat yang begitu besar pada bulan Ramadhan. Alangkah meruginya orang-orang yang tidak mau
mengambilnya. Bulan ini adalah rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka.
Tidak ada bulan yang dapat merangkum ketiga hal tersebut selain bulan Ramadhan.
Oleh karena itu, sudah semestinya kita memperbanyak dan memperbagus ibadah-ibadah
kita di bulan ini. Berikut
ini tujuh kebiasaan
Rasulullah selama bulan Ramadhan:
Kebiasaan Pertama, mengerjakan amalan
fardhu dengan sempurna.
Pahala orang yang mengerjakan amalan
fardhu di bulan ramadhan sama dengan 70 kali pahala yang dilakukan pada amalan
di bulan lainnya. Alangkah besar pahala itu, alangkah meruginya orang yang
meninggalkannya. Sudah semestinya kita mengerjakannya dengan sebaik mungkin,
agar kita mendapatkan pahala itu dan keberkahan lainnya dari ibadah yang kita
lakukan. Segeralah shalat apabila adzan memanggil, kemudian lakukanlah shalat
berjamaah. Jika dihitung-hitung secara matematik, orang yang shalat berjamaah
pada bulan ramadhan akan mendapatkan pahala sebesar 1890 pahala, yaitu hasil
dari 27 x 70. Luar biasa besarnya. Dan, Allah bisa saja melipatgandakannya lagi
sebagaimana yang Dia kehendaki. Semua itu hanya diberikan Allah pada bulan ini.
Kebiasaan Kedua, mengerjakan amalan
sunah.
Pahala orang yang mengerjakan amalan
sunah sama dengan pahala orang yang mengerjakan amalan fardhu di bulan lain.
Wahai orang-orang yang lalai dalam mengerjakan amalan fadhu di bulan lain, kini
saatnya kalian mengejar ketertinggalan itu dari orang-orang saleh. Sesungguhnya
waktu kita hanya sebentar. Entah kapan kita mati; esok atau lusa, itu adalah
rahasia Allah. Tak ada yang menyelamatkan kita kecuali amal-amal yang
mengantarkan pada rahmat Allah Swt. Jika shalat fardhu saja sudah ditinggalkan
dibulan lain, ditambah ditinggalkannya shalat sunah di bulan ramadhan, entah
amal apa yang dapat menyelamatkan kita dari siksa-Nya, sedangkan yang pertama
kali di hisab adalah shalat kita. Apabila shalat kita bagus, maka bagus pula
seluruh amalan kita. Apabila jelek, tunggulah siksaan itu begitu nyata.
Kebiasaan Ketiga, membayar zakat dan
memperbanyak sedekah.
Rasulullah Saw. telah bersabda dalam
salah satu haditsnya, “Bulan
ini (ramadhan) juga merupakan bulan simpati kepada sesama. Pada bulan inilah
rezeki orang-orang beriman ditambah. Barangsiapa memberi makan (untuk berbuka
puasa) kepada orang yang berpuasa maka kepadanya dibalas dengan keampunan
dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka Jahannam dan dia juga memperoleh
ganjaran yang sama sebagaimana orang yang berpuasa tadi tanpa sedikit pun
mengurangi pahala orang yang berpuasa itu.”Yang dimaksud “memberi makan” di sini tidak
hanya berbentuk satu porsi makanan, tetapi“walau
hanya sebutir kurma, atau seteguk air, atau seisap susu.”
Rasulullah
Saw. adalah orang yang paling pemurah dan dibulan Ramadhan beliau lebih pemurah
lagi. Kebaikan Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan melebihi angin yang berhembus
karena begitu cepat dan banyaknya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sebaik-baiknya sedekah yaitu sedekah di bulan
Ramadhan.” (HR. Baihaqi, al-Khatib, dan Tirmidzi).
Dan salah satu bentuk sedekah yang
dianjurkan adalah memberikan ifthor (santapan
berbuka puasa) kepada orang-orang yang berpuasa. Seperti sabda beliau, “Barangsiapa yang memberi ifthor kepada
orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang
berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.”(HR.
Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan,
para sahabat Ra. berkata, “Ya Rasulullah! Tidak semua orang di antara kami
mempunyai sesuatu yang dapat diberikan kepada orang yang berpuasa untuk
berbuka.” Rasulullah Saw. menjawab, “Allah akan mengaruniakan balasan ini
kepada seseorang yang memberi buka walaupun hanya dengan sebiji kurma, atau
seteguk air, atau seisap susu.”
Dengan zakat dan sedekah, kita dapat
menolak bala’ bencana, doa-doa kita dikabulkan, harta kita dibersihkan,
nikmat-nikmat kita ditambah, telah gugurnya kewajiban, dan besarnya pahala yang
akan kita terima. Mungkin selama bulan-bulan lain Anda kurang bersedekah, maka
inilah saatnya Anda banyak bersedekah. Selama bulan-bulan lain Anda bekerja
keras mencari uang, maka inilah saatnya Anda sedekahkah sebagian uang itu
kepada yang berhak. Jika ada orang yang meminta, berilah. Karena toh harta kita
tidak berkurang. Apalah artinya jika Anda berpenghasilan dua juta sebulan, lalu
Anda sedekahkan lima ratus ribu pada bulan ini. Semua itu tak ada artinya
dibandingkan dengan pahala yang akan Anda terima. Harta Anda akan terus
bertambah seiring dengan terus menerusnya Anda bersedekah. Ya Allah,
karuniakanlah kami rezeki yang melimpah dan dengannya kami membayar zakat dan
sedekah.
Kebiasaan Keempat, memperbanyak
membaca Al-Qur’an.
Bulan yang penuh berkah ini memiliki
hubungan yang sangat erat dengan Al-Qur’an. Karena secara umum Allah menurunkan
kitab-kitab-Nya pada bulan ini. Begitu pula Al-Qur’an, telah diturunkan
seluruhnya dari Lauh Mahfudz ke langit dunia pada bulan ramadhan, kemudian dari
sanalah diturunkan sedikit demi sedikit sesuai dengan kejadian yang ada dalam
waktu 23 tahun. Selain itu, Shahifah Nabi Ibrahim diturunkan pada tanggal 3
ramadhan, Nabi Dawud As. mendapatkan kitab Zabur pada tanggal 12 atau 18
ramadhan, Nabi Musa As. diberi kitab Taurat pada tanggal 6 ramadhan, dan Nabi
Isa As. mendapat Injil pada tanggal 12 atau 13 ramadhan.
Inilah yang membuat bulan Ramadhan mempunyai hubungan erat dengan
firman Allah Swt., sehingga banyak riwayat yang menekankan tentang pentingnya
membaca Al-Qur’an di bulan ini, dan yang demikian
merupakan amalan para shalihin.
Jibril As. dan Rasulullah Saw. biasa saling memperdengarkan dan mendengarkan
seluruh isi Al-Qur’an pada bulan ini. Iman az-Zuhri
pernah berkata, “Apabila datang Ramadhan maka kegiatan utama kita (selain
shiyam) ialah membaca Al-Quran.”
Kesibukan Imam Malik di bulan ramadhan
adalah membaca Al-Qur’an, bukan berceramah dan memberikan
fatwa. Imam Syafi’i membaca Al-Qur’an 60 kali khatam di bulan ini. Rumah
para sahabat Ra. dan tabi’in – di bulan ramadhan – terdengar bacaan Al-Qur’an, seorang pujangga mengibaratkannya “seperti dengungan
lebah”, dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, hendaklah sedapat mungkin
bersungguh-sungguh dalam membaca Al-Qur’an. Apabila bulan sebelumnya hanya mampu
membaca separuh juz, alangkah baiknya ditingkatkan menjadi satu juz. Yang
penting adalah adanya peningkatan dan kesungguhan dalam membaca Al-Qur’an pada bulan ini.
Kebiasaan Kelima, memperbanyak doa dan
dzikir.
Inilah bulan dimana doa-doa kita tidak
ditolak-Nya. Dalam kitab Durrul
Mantsur ada sebuah riwayat dari Aisyah Ra. bahwa apabila
ramadhan tiba, berubahlah wajah Rasulullah Saw.. Beliau akan menambah
shalatnya, lebih merendahkan diri dalam doa-doanya, dan lebih nampak rasa
takutnya kepada Allah Swt.. Dalam satu riwayat diberitahukan bahwa di bulan
ramadhan Allah Swt. memerintahkan para malaikat pemikul Arsy, “Tinggalkanlah ibadah kalian masing-masing dan
amin-kanlah doa orang yang berpuasa.”
Kebiasaan Keenam, memperbanyak membaca kalimat Thayyibah, Istighfar, dan memohon kepada Allah untuk
masuk surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka.
Rasulullah Saw. bersabda, “Perbanyaklah
di bulan ini empat perkara. Dua perkara dapat mendatangkan keridhaan Tuhanmu,
dan yang dua lagi kamu pasti memerlukannya. Dua perkara yang mendatangkan
keridhaan Allah yaitu, hendaknya kalian membaca kalimat thayyibah dan istighfar
sebanyak-banyaknya. Dan dua perkara yang kita pasti memerlukannya, yaitu
hendaknya kamu memohon kepada-Nya untuk masuk surga dan berlindung kepada-Nya
dari api neraka Jahanam.” (HR. Ibnu Khuzaimah).
Kalimat thayyibah (lailahaillallah)
dan istighfar memiliki banyak sekali keutamaan. Jika dibaca dibulan yang lain
memiliki keutamaan, apalagi dibaca dibulan Ramadhan, tentu keutamaannya jauh
lebih banyak. Oleh karena itu, mari kita memperbanyak membacanya! Rasulullah
Saw. bersabda, “Dzikir yang paling utama
adalah la ilahaillallah…” Rasulullah Saw. juga bersabda, “Barangsiapa beristighfar dengan
sebanyak-banyaknya, Allah akan membuka jalan keluar dari segala kesempitan dan
membebaskannya dari segala kesedihan, dan dia memperoleh rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangka.”
Kebiasaan Ketujuh, i’tikaf.
I’tikaf adalah puncak ibadah di bulan Ramadhan. Dan I’tikaf
adalah tetap tinggal di masjidtaqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah dan menjauhkan diri dari segala aktifitas keduniaan. Dan
inilah sunnah yang selalu dilakukan Rasulullah pada bulan Ramadhan, disebutkan
dalam hadits dari Aisyah Ra. berkata, “Rasulullah Saw.ketika memasuki sepuluh
hari terakhir menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya dan
mengencangkan ikat pinggangnya.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat
Muslim yang lain disebutkan, “Rasulullah Saw. bersungguh-sungguh dalam sepuluh
(hari) akhir (bulan Ramadhan), hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya.”
Sedangkan dalam hadits Bukhari dikatakan, “Bila masuk sepuluh (hari
terakhir bulan Ramadhan Rasulullah Saw. mengencangkan kainnya menjauhkan diri
dari menggauli istrinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.”
Dalam riwayat Thabrani dari Ali bin Abi
Thalib Ra. disebutkan, “Bahwasanya Rasulullah Saw. membangunkan keluarganya
pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan, dan setiap anak kecil maupun orang tua
yang mampu melakukan shalat.”
Demikianlah tujuh kebiasaan Rasulullah yang dilakukan
dibulan Ramadhan. Mudah-mudahan dengan menjalankan
kebiasaan-kebiasaan itu, Allah limpahkan rahmatnya kepada kita.Rasulullah
Saw. bersabda, “Telah datang kepadamu bulan
ramadhan, dimana Allah melimpahkan keberkahan, menurunkan rahmat dan mengampuni
dosa-dosamu, menerima doa-doamu, melihat atas perlombaanmu (dalam kebaikan) dan
membanggakanmu di hadapan para malaikat. Maka tunjukkanlah kepada Allah Swt.
kebaikanmu. Sesungguhnya orang yang celaka adalah dia yang terhalang dari
rahmat Allah pada bulan ini.” (HR. Thabrani).
Cara
Rasulullah Sambut Ramadhan
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Adalah Rasul SAW yang mempersiapkan diri betul menyambut kedatangan setiap bulan Ramadhan.
Persiapan Rasul tersebut bukan hanya bersifat jasmani, melainkan paduan jasmani dan rohani mengingat puasa sebagaimana ibadah yang lain adalah paduan ibadah jasmani dan rohani, di samping ibadah yang paling berat di antara ibadah wajib (fardu) lainnya.
Oleh sebab itu, ia disyariatkan paling akhir di antara ibadah wajib lainnya. Persiapan jasmani tersebut dilakukan oleh Rasul SAW melalui puasa Senin-Kamis dan puasa hari-hari putih (tanggal 13,14 dan 15) setiap bulan sejak bulan syawal hingga Sya’ban.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa puasa Senin dan Kamis. Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, engkau senantiasa puasa Senin dan Kamis.”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya pada setiap hari Senin dan Kamis Allah SWT mengampuni dosa setiap Muslim, kecuali dua orang yang bermusuhan. Allah berfirman, ‘Tangguhkanlah keduanya sampai keduanya berdamai’.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam kaitannya dengan puasa tiga hari setiap bulan, Rasul SAW bersabda kepada Abu Dzar Al-Ghifari RA, “Wahai Abu Dzar, jika engkau ingin berpuasa setiap bulan, maka puasalah tanggal 13,14 dan 15.” (HR. Tirmidzi).
Sedangkan persiapan rohani dilakukan oleh Rasul SAW melalui pembiasaan shalat tahajud setiap malam serta zikir setiap waktu dan kesempatan. Bahkan, shalat tahajud yang hukumnya sunah bagi kaum Muslimin menjadi wajib bagi pribadi Rasul SAW.
Diriwayatkan oleh Aisyah RA yang bertanya kepada Rasul SAW mengenai pembiasaan ssalat tahajud, padahal dosa-dosa beliau telah diampuni oleh Allah SWT, Rasul SAW menjawab dengan nada yang sangat indah, “Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?”
Memasuki bulan Sya’ban, Rasul SAW meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah puasa, qiyamul lail, zikir dan amal salehnya. Peningkatan tersebut dikarenakan semakin dekatnya bulan Ramadhan yang akan menjadi puncak aktifitas kesalehan dan spiritualitas seorang Muslim.
Jika biasanya dalam sebulan Rasul SAW berpuasa rata-rata 11 hari, maka di bulan Sya’ban ini beliau berpuasa hampir sebulan penuh. Dikisahkan oleh Aisyah RA bahwasanya, “Rasulullah banyak berpuasa (di bulan Sya’ban) sehingga kita mengatakan, beliau tidak pernah berbuka dan aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah banyak berpuasa (di luar Ramadhan) melebihi Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam riwayat Usama bin Zayed RA dikatakan, “Aku bertanya kepada Rasul, ‘Wahai Rasulullah, Aku tidak melihatmu banyak berpuasa seperti di bulan Sya’ban?’ Beliau menjawab, ‘Sya’ban adalah bulan yang dilupakan manusia, letaknya antara Rajab dan Ramadhan. Di bulan tersebut amal manusia diangkat (ke langit) oleh Allah SWT dan aku menyukai pada saat amal diangkat aku dalam keadaan berpuasa’.” (HR. An-Nasa’i).
Sya’ban adalah bulan penutup rangkaian puasa sunah bagi Rasulullah SAW sebelum berpuasa penuh di bulan Ramadhan. Jika Rasul telah mempersiapkan penyambutan Ramadhan dengan berpuasa minimal 11 hari di luar Sya’ban dan 20-an hari di bulan Sya’ban, berarti untuk menyambut Ramadhan Rasulullah SAW telah berpuasa paling sedikitnya 130 hari atau sepertiga lebih dari jumlah hari dalam setahun.
Maka, hanya persiapan yang baiklah yang akan mendapat hasil yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk mempersiapkan diri di bulan Sya’ban sehingga memperoleh hasil yang maksimal di akhir Ramadhan.
Adalah Rasul SAW yang mempersiapkan diri betul menyambut kedatangan setiap bulan Ramadhan.
Persiapan Rasul tersebut bukan hanya bersifat jasmani, melainkan paduan jasmani dan rohani mengingat puasa sebagaimana ibadah yang lain adalah paduan ibadah jasmani dan rohani, di samping ibadah yang paling berat di antara ibadah wajib (fardu) lainnya.
Oleh sebab itu, ia disyariatkan paling akhir di antara ibadah wajib lainnya. Persiapan jasmani tersebut dilakukan oleh Rasul SAW melalui puasa Senin-Kamis dan puasa hari-hari putih (tanggal 13,14 dan 15) setiap bulan sejak bulan syawal hingga Sya’ban.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa puasa Senin dan Kamis. Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, engkau senantiasa puasa Senin dan Kamis.”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya pada setiap hari Senin dan Kamis Allah SWT mengampuni dosa setiap Muslim, kecuali dua orang yang bermusuhan. Allah berfirman, ‘Tangguhkanlah keduanya sampai keduanya berdamai’.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam kaitannya dengan puasa tiga hari setiap bulan, Rasul SAW bersabda kepada Abu Dzar Al-Ghifari RA, “Wahai Abu Dzar, jika engkau ingin berpuasa setiap bulan, maka puasalah tanggal 13,14 dan 15.” (HR. Tirmidzi).
Sedangkan persiapan rohani dilakukan oleh Rasul SAW melalui pembiasaan shalat tahajud setiap malam serta zikir setiap waktu dan kesempatan. Bahkan, shalat tahajud yang hukumnya sunah bagi kaum Muslimin menjadi wajib bagi pribadi Rasul SAW.
Diriwayatkan oleh Aisyah RA yang bertanya kepada Rasul SAW mengenai pembiasaan ssalat tahajud, padahal dosa-dosa beliau telah diampuni oleh Allah SWT, Rasul SAW menjawab dengan nada yang sangat indah, “Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?”
Memasuki bulan Sya’ban, Rasul SAW meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah puasa, qiyamul lail, zikir dan amal salehnya. Peningkatan tersebut dikarenakan semakin dekatnya bulan Ramadhan yang akan menjadi puncak aktifitas kesalehan dan spiritualitas seorang Muslim.
Jika biasanya dalam sebulan Rasul SAW berpuasa rata-rata 11 hari, maka di bulan Sya’ban ini beliau berpuasa hampir sebulan penuh. Dikisahkan oleh Aisyah RA bahwasanya, “Rasulullah banyak berpuasa (di bulan Sya’ban) sehingga kita mengatakan, beliau tidak pernah berbuka dan aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah banyak berpuasa (di luar Ramadhan) melebihi Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam riwayat Usama bin Zayed RA dikatakan, “Aku bertanya kepada Rasul, ‘Wahai Rasulullah, Aku tidak melihatmu banyak berpuasa seperti di bulan Sya’ban?’ Beliau menjawab, ‘Sya’ban adalah bulan yang dilupakan manusia, letaknya antara Rajab dan Ramadhan. Di bulan tersebut amal manusia diangkat (ke langit) oleh Allah SWT dan aku menyukai pada saat amal diangkat aku dalam keadaan berpuasa’.” (HR. An-Nasa’i).
Sya’ban adalah bulan penutup rangkaian puasa sunah bagi Rasulullah SAW sebelum berpuasa penuh di bulan Ramadhan. Jika Rasul telah mempersiapkan penyambutan Ramadhan dengan berpuasa minimal 11 hari di luar Sya’ban dan 20-an hari di bulan Sya’ban, berarti untuk menyambut Ramadhan Rasulullah SAW telah berpuasa paling sedikitnya 130 hari atau sepertiga lebih dari jumlah hari dalam setahun.
Maka, hanya persiapan yang baiklah yang akan mendapat hasil yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk mempersiapkan diri di bulan Sya’ban sehingga memperoleh hasil yang maksimal di akhir Ramadhan.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/07/15/m76wv6-cara-rasulullah-sambut-ramadhan
Berpisah dengan
Ramadhan
Tangis Perpisahan para
Pecinta Ramadhan
“Di
malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi
dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”
Waktu terus bergulir dari detik ke
detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke
minggu.... Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri
untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran,
bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan
akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail
kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan
ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana.
Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan
Ramadhan berikutnya.Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.
Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.
Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.
Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”
Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”
Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”
Imam Mu'alla bin Al-Fadhl RA berkata, "Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan)."
Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.
Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.
Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.
Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.
Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).
Lebarannya Rasulullah SAW
Idul Fithri adalah anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad, tak salah bila disambut dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr (‘Idul Adha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”
Hanya saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun, kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. Bukankan kita sudah dilatih untuk menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia’." (HR Ibnu Majah).
Marilah kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang bersahaja.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.
Menurut hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR Bukhari-Muslim).
Dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Ibnu Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”
Sebelum melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan badan kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir kami, sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah menyucikan apa yang tampak dari kami.”
Ada juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).
Imam Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar keindahan busana saat itu).
Pada hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya.
Kemudian, beliau mengambil beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan biasanya jumlahnya ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam menghentikan puasanya.
Sepanjang perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamdu.”
Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang, seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah lapangan di pintu timur kota Madinah.
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.
Jundab RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi satu tombak.”
Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah lainnya dengan keras.
Pada rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya.
Namun ada juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam.
Lalu bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud, “Barang siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat sendiri.”
Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar memperoleh keridhaan-Nya.
Saling Bermaafan
Saat bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya saling mendoakan. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu).’
Lalu ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’.
Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengucapkan: Taqabbalallah minna wa minka.
Lalu Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minna wa minka’.” (HR Baihaqi).
Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).
Pada hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).
Aisyah RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya.
Tidak lama setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di samping Rasulullah?’
Mendengar hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus; sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus masuk dan berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya.
Tiba-tiba masuk pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka) mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’
Maka Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, ‘Biarkanlah mereka.’
Kemudian setelah beliau terlena, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan mereka pun pergi.
Dan waktu hari raya itu banyak orang Sudan mengadakan permainan senjata dan perisai. Adakalanya aku meminta kepada Nabi SAW untuk melihat, dan adakalanya pula beliau sendiri yang menawarkan, ‘Inginkah kau melihatnya?’
Aku jawab, ‘Ya.’
Maka disuruhnya aku berdiri di belakangnya, hingga kedua pipi kami bersentuhan, lalu sabdanya, ‘Teruskan, hai Bani ‘Arfadah!’
Demikianlah sampai aku merasa bosan.
Maka beliau bertanya, ‘Cukupkah?’
Aku jawab, ‘Cukup.’
‘Kalau begitu, pergilah!’ kata beliau.”
Hakikat Kemenangan
Demikianlah, Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti dipertahakan.
Puasa Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan), puasa Asyura' (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan lain-lain.
Tarawih memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata, "Seandainya tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia."
Zakat fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.
Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat. Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.
Seorang penyair Arab mengingatkan dalam sya'irya:
Bukanlah Hari Raya ‘Id itu
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta'atnya
Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, kita disampaikan Allah kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan ini dapat kita terus pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita sehari-hari. Dan semoga kita masih dapat dipertemukan Allah dengan Ramadhan berikutnya.
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu 'aamin wa antum bikhairin.
Doa Perpisahan Melepas Bulan
Ramadhan
Salah satu adab melepas bulan Ramadhan sebagaimana diajarkan oleh
Rasulullah SAW kepada para pengikutnya adalah membacakan Doa Perpisahan.Doa Perpisahan tersebut sebaiknya dibaca pada malam terakhir Ramadhan. Namun, sekiranya ada kekhawatiran malam terakhir Ramadhan akan berlalu tanpa diketahui, maka dianjurkan untuk membacanya pada kedua malam terakhir Ramadhan, yaitu malam ke 29 (malam ini) dan ke 30.
Berikut saya bagikan beberapa alternatif doa perpisahaan tersebut dalam versi Bahasa Indonesia (dapat dipilih salah satu atau dibaca semuanya):
Doa 1
Dari Jabir bin Abdillah ra dari Muhammad al Mustafa SAW: Beliau bersabda, Siapa yang membaca doa ini di malam terakhir Ramadhan, ia akan mendapatkan salah satu dari dua kebaikan: menjumpai Ramadhan mendatang atau pengampunan dan rakhmat Allah.
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan puasa ini sebagai puasa yang terakhir dalam hidupku. Seandainya Engkau berketetapan sebaliknya, maka jadikanlah puasaku ini sebagai puasa yang dirakhmati bukan yang hampa semata
Doa 2
“Ya Allah, dalam kitab yang Kau wahyukan (kepada Nabi Muhammad SAW), Engkau berfirman: Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkannya Al Quran di dalamnya. Tetapi sebentar lagi berlalu. Aku mohonkan padaMu dengan perantaraan WajahMu yang mulia, dengan perantaraan kalimat-kalimatMu yang sempurna, seandainya masih tersisa padaku dosa yang belum Kau ampuni, atau dosa yang (menyebabkan) aku disiksa karenanya (hingga) terbitnya fajar malam ini, atau hingga berlalunya bulan ini, maka ampunilah semuanya, wahai Dzat Yang Paling Pengasih dari semua yang mengasihi.
Ya Allah, bagiMu segala pujian. Segala pujian yang telah Kau ucapkan untuk diriMu sendiri, segala pujian sungguh-sungguh yang diungkapkan hambaMu yang bijak dan senantiasa berzikir dan bersyukur kepadaMu. Merekalah orang-orang yang telah Kau bantu menunaikan hak-hakMu dari sebagian makhlukMu yang tersebar di alam ini, baik dari kalangan malaikat yang dekat denganMu ataupun nabi-nabi yang telah Engkau utus ataupun orang-orang yang berfikir ataupun dari kalangan mereka yang bertasbih kepadaMu.
Sungguh, Engkau telah mengantar kami ke bulan Ramadhan ini dan telah mengaruniai kami kenikmatan dan anugerah. Engkau telah menampakkan kemurahan dan pemberianMu. Karenanya, padaMu bermuara segala sanjungan yang abadi, kekal, dan menetap selamanya. Betapa agung sebutanMu.
Tuhanku, bantulah aku menjalani bulan Ramadhan sehingga Engkau sempurnakan puasa, shalat dan segala kebaikan, syukur dan dzikir kami di bulan ini. Oh Tuhanku, terimalah puasaku dengan sebaik-baiknya penerimaan, perkenanan, maaf, kemurahan, pengampunan, dan hakikat keridaanMu. Sehingga Kau memenangkan aku dengan segala kebaikan yang dituntut, segala anugerah yang Kau curahkan di bulan ini. Selamatkanlah aku di dalamnya dari kekhawatiran terhadap bencana yang mengancam atau dosa yang berlangsung terus.
Duhai Tuhanku, aku bermohon padaMu dengan keagungan yang diminta hambaMu dari kemuliaan nama-nama dan keindahan pujianMu dan dari para pengharap yang istimewa. Sudilah Engkau mencurahkan rakhmatMu kepada Muhammad dan keluarganya. Dan agar Kau jadikan bulan ini seagung-agungnya Ramadhan, yang telah berlalu dari kami sejak Engkau turunkan ke dunia, sebagai berkah dalam menjaga agama, jiwa dan segala kebutuhanku. Juga berkatilah aku dalam semua persoalan, sempurnakanlah pemberian nikmatMu, palingkanlah aku dari keburukan dan hiasi aku dengan busana kesucian di bulan ini.
Demikian pula, dengan rakhmatMu golongkanlah aku ke dalam orang-orang yang mendapatkan (keutamaan) malam al-Qadar. Malam yang telah Kau tetapkan lebih baik dari seribu bulan dalam keagungan ganjaran, kemuliaan perbendaharaan, keindahan syukur, panjang umur, dan kemudahannya yang berlanjut.
Oh Tuhanku, aku bermohon dengan perantaraan rakhmat, kebaikan, ampunan, karunia, keluhuran, kebaikan, dan pemberianMu. Janganlah Engkau jadikan Ramadhan ini sebagai kesempatan terakhirku. Sudilah Engkau mengantar aku hingga Ramadhan berikutnya dalam keadaan yang paling baik. Perlihatkan aku hilal Ramadhan berikutnya, bersama orang-orang yang melihat keleluasaan rakhmatMu. Dan limpahkanlah anugerahMu, wahai Tuhanku. Tiada ada Tuhan selain Allah.
Semoga perpisahanku dengan bulan Ramadhan ini bukanlah perpisahan untuk selamanya dan bukan pula akhir pertemuanku. Sehingga aku dapat kembali bertemu pada tahun mendatang dalam keadaan penuh keluasan rezaki dan keutamaan harapan. Kini aku berada di hadapanMu dengan penuh kesetiaan. Sesungguhnya Engkay Maha Mendengar segala doa. Ya Allah, dengarkanlah pengaduanku ini. Perhatikanlah rintihan, kerendahan, kepapaan dan penyerahan diriku ini.
Aku berserah diri padaMu, Tuhanku. Aku tidak mengharapkan kemenangan, ampunan, kemuliaan, dan penyampaian (kepada cita-citaku) kecuali padaMu. Anugerahilah aku keagungan pujianMu, kesucian nama-namaMu, dan kesampaianku kepada Ramadhan berikutnya dalam keadaan terbebas dari semua keburukan, kekhawatiran dan ganjalan. Segala puji untukMu semata, yang telah membantu kami untuk menunaikan puasa dan mendirikan qiyamul lail di bulan Ramadhan ini, hingga malamnya yang terakhir.
Temans, Seorang penyair Arab pernah mengingatkan dalam syairnya,
Bukanlah hari raya Id itu bagi orang yang berbaju baru, melainkan hakekat Id itu bagi orang yang bertambah taatnya (kepada Allah swt.).
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu aamin wa antum bikhairin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidzin wal Faidzin
Mohon maaf lahir dan batin, met mudik bagi yang mudik ya
Semoga Allah SWT menerima semua amal ibadah klta di bulan Ramadhan. Amin …
http://msalman.blogdetik.com/2008/09/26/doa-perpisahan-melepas-bulan-ramadhan/
0 komentar:
Posting Komentar